Oleh : Ageng Triganda Sayuti

Pulang Kampung

Sabtu, 01 April 2023 - 05:02:40


/

Pemandandangan yang indah dikelilingi perbukitan dengan udara yang sejuk, hamparan sawah yang menghijau, gemericik air di sungai dengan bebatuan yang berkilau terkena cahaya, atau deburan ombak menyapu pasir pantai dengan semilir angin menuju matahari terbenam. Begitulah suasan gambaran perkampungan di tanah air.

Tentulah suasana kampung ini seakan memanggil para perantau untuk kembali ke kampung halaman, video dan foto indahnya kampong halaman pun mulai memenuhi lini masa di sosial media disertai pula dengan lagu indah yang menambah indahnya suasana semakin membuat hati ingin segera pulang.

Rindu bertemu keluarga sudah pasti, tapi menikmati suasana kampung juga dianggap “healing” terbaik melepas letihnya pekerjaan dan sesaknya kehidupan kota. Begitulah kata mereka yang kampungnya memenuhi kriteria kampung dalam gambar pemandangan yang dibuat anak sekolah dasar dalam mata pelajaran kesenian.

 Tentu tidak semua perkampungan memiliki suasana yang sama, perjalanan menuju kampung tidak ada perbukitan yang menghijau dengan udara sejuk hanya ada lahan berbukit dengan sawit tua yang menjulang menunggu peremajaan, Suasana pagi di pinggir sungai bernama pengabuan hanya ada beberapa orang yang pergi ke kebun atau mencari ikna dengan perahu kecil bermesin, tidak ada lagi keriuhan seperti dahulu dan seperti cerita orang tua sebelumnya tentang ramainya aktifitas perdagangan di sungai dengan dermaga kecil yang ramai yang kemudian menjadikan nama kampong ini Pelabuhan Dagang. Perubahan jalur transportasi dari sungai menjadi jalan darat merubah pergerakan ekonomi. Selesainya Jembatan Aurduri yang melintasi sungai Batanghari diikuti pula dengan terbukanya jalan nasional membuka berbagai peluang investasi masuk mulai dari investasi bidang perkayuan hingga perkebunan. 

keheningan malam khas pedesaan dengan suara lantunan Al Quran dari pengeras suara masjid juga bersautan dengan gaharnya suara mesin pabrik melumat buah sawit menjadi minyak CPO, perkebunan kelapa sawit menjadi era perekonomian baru kampong ini. Jauh sebelumnya bergantung pada hasil “motong parah” di kebun karet dengan hasil tentu tidak banyak tapi cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari hari, menurut beberapa orang kondisi ini pula yang menyebabkan masyarakat kampung tidak memiliki budaya rantau yang kuat karena pada dasarnya untk makan di kampung sudah cukup.

Selanjutnya indusitri perkayuan turut pula menjadi penopang ekonomi baru dan menjadi babak baru dalam sosial masyarakat. Secara ekonomi industri kayu memunculkan “tokeh” kayu yang berbisnis dengan perusahaan, perusahaan pun banyak menerima pekerja di pabrik, hal ini yang kemudian merubah masyarakat secara sosial, perkenalan dengan pekerja dari luar daerah membuka pengalaman baru bagi warga kampung hingga masalah percintaan yang akhirnya banyak terjadinya pernikanan dengan bujang atau gadis dari luar daerah.

Di akhir kejayaan industri kayu itu kemudian babak kelapa sawit mulai muncul meskipun di beberapa kampung tetangga sudah mulai terlebih dahulu, dan sepertinya masa kelapa sawit inlah pemrataan semakin terasa. Berbagai isu seperti Pemanasan global, deforestasi hutan, dan suara boikot sawit dari beberapa kalangan tentu lebih berisik bagi masyarakat dibanding berisknya suara pabrik yang memecah keheningan malam, bagi masyarakat yang merasakan dampak kesejetahteraan dengan perkebunan sawit tentu akan berkomentar: Ah mengkau dak meraso tu lah motong hari hujan, beras di rumah lah habis, begitulah kata seorang paman menggambarkan kondisi ekonomi seorang penyadap karet.

Pada akhirnya demikianlah kampung halaman seperti penggalan lagu dari band Naff “meski tak seindah yang kau mau tak se sempurna cinta yang semestinya”, kampung halaman tetaplah dihati pulang kampung akan dinanti. Pulanglah, ceritakan pada penerusmu dari sinilah kamu berasal seperti apa kamu hari ini adalah hasil dari kehidupan masa lalu.

*Penulis, Alumni SDN 09, Pelabuhan Dagang, Perantau Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas